Bukan Karena Cinta
Aceh, 26 Desember 2004
Langit cerah. Angin bertiup pelan seiring
melambainya rimbunan daun pohon kelapa di pantai Lhoknga. Ombak-ombak
berkejaran, berlomba-lomba mendahului hingga ke tepian pantai. Matahari di ufuk
timur menambah indahnya kemilauan buih-buih pantaiku ini.
Aku Tonga. Umur 35 tahun. Aku sudah lama
sekali hidup di sini, di sekitar wilayah ini. Keseharianku... yah, mencari
ikan. Meski hasilnya tak seberapa, tapi aku sudah sangat bersyukur bisa
menghidupi diriku sendiri yang hanya sebatang kara ini. Aku masih ingat ketika
dulu masih sekolah, aku dididik bahwa tingkat kemakmuran bukan dinilai
berdasarkan besarnya kecilnya pendapatan seseorang, tetapi dilihat dari
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan.
Aku masuk rumah, yang berjarak tidak sampai
100 m dari pantaiku. Hari ini aku tidak melaut. Kemarin ramalan cuaca BMG Banda
Aceh di bmgaceh.go.id mengatakan
bahwa hari ini akan turun hujan disertai petir-petir. Entahlah, tidak sesuai
sekali dengan saat ini.
Kubuka laptopku. Oh ya, laptop pinjamanku.
Laptop ini pinjaman dari Pak Jamal tetangga sebelah karena aku pernah membantunya
mencari kacamata di kamar mandi. Tak hanya itu, rumah gubukku yang sudah miring
14 derajat ini dipasangi wi-fi
olehnya. Alhamdulillah, terharu sekali rasanya jika teringat kata-katanya
ketika itu. Baik sekali dia.
Kubuka email.
Tak ada yang masuk. Kubuka google.com,
mencari tahu tentang lowongan kerja di Banda Aceh. Barangkali saja ada. Oh,
setelah kucari lama, belum ada rupanya. Ya sudah lah.
Aku melongok ke jendela luar mencari sedikit
hirupan nafas segar. Fantastis! Air laut surut jauh sekali. Ikan-ikan
menggelepar bertaburan tak beraturan bak titik-titik hujan di daratan. Dengan
cekatan aku segera mengambil ember biru kecilku di depan rumah dan berlari menuju
pantai secepat mungkin layaknya sprinter kelas dunia yang dikejar anjing. Tanpa
basa-basi kumasukkan ikan-ikan itu ke dalam ember mungilku. Karena tak sedikit
juga rupanya para tetangga yang melakukan hal serupa. Teriakan-teriakan syukur
menggema di telingaku. Sebagian ada yang bersujud ke barat yanag kebetulan
menghadap ke pantai. Tapi... tapi... itu... itu...
“Gelombang besar!!!” aku berteriak. Aku yakin
aku yang pertama kali melihat gelombang itu. Suaranya bergemuruh. Sambil sprint
menjauhi gelombang sepuluh meteran itu, kulihat sekilas manusia berlarian ke
arah yang sama denganku. Kocar-kacir.
Gelombang itu semakin dekat, dekat, dan
dekat. Takbir di mana-mana. Aku masih berlari. Sekuat tenaga kucoba menghindari
kejaran gelombang tinggi yang kulihat 3 detik lalu. Aku teringat rumahku,
laptopku, eh... laptop Pak Jamal. Tapi tak kuhiraukan. Nyawa lebih penting dan
paling penting.
“Allahu akbar!” pekikku.
Punggungku sakit dihantam gelombang itu. Aku
di air. Ya, di dalam air. Kucoba menghirup nafas. Sulit sekali. Malahan
menghirup air. Arus air masih sangat terasa di punggungku, kepalaku, kakiku,
tanganku. Dadaku sesak. Sesak sekali. Aku tak tahu harus apa. Dalam hati
kuucapkan berulang-ulang kalimat Allah dan Allah. Aku hanyut. Terombang-ambing
dalam derasnya tekanan air dari belakang punggung.
Gelap.
Medan, 4 Oktober 1999
“Good
afternoon. Welcome to Polonia Airport, Medan.”
“Thank you so
much. This is Mr. Tonga the pilot, and Mr. Ramdan, co-pilot. We’re from
Singapore International Airport. Flight code siy-ef-thri-thri-wan-thri (CF-3313,
red).”
Ini penerbangan komersial pertamaku setelah
perjuangan bertahun-tahun di Miami Flight Foundation. Sekaranglah saatnya aku
resmi bertugas di kabin pesawat.
“Turn down to
3000 ft.”
“Yes, thank’s.”
Aku mendorong pedal controller perlahan-lahan hingga high display menunjukkan angka tiga ribu. Fiuh... sudah. Lega
rasanya.
“Mmm... report.
The look distance is about 2.5 km. How will we do?”
“Well, turn
left at 0,35o!”
“Turn down to
1000 ft!”
“Then prepare
to take a landing position.”
“Pardon me?” kataku. Suara
berat itu terlalu cepat memberi intrupsi.
“Turn left 0,35o
and turn down to 1000 ft. Then take a landing position.”
“Sure,” aku mengiyakan
saja. Kusuruh Ramdan mengumumkan berita pendaratan pada penumpang, kemudian
kuubah jalur dan arah pesawat sesuai perintah petugas ATC tadi.
“CF-3313? To
1000 ft!”
“Okay, sir,” aku menjawab.
“CF-3313?”
“CF-3...1...?”
Wah! Gawat! Komunikasi kami putus entah
kenapa. Kutekan-tekan tombol refresh
di side speaker tapi hasilnya tetap
nihil. Oh, tidak!
Dengan terpaksa aku mencoba melakukan landing
tanpa instruksi apapun di penerbangan pertamaku ini. Sekaranglah saatnya tiba.
Landasan pacu sudah berada kira-kira 2 km di depanku. Semua sudah kupersiapkan.
Arah pesawat sudah tepat lurus dengan landasan pacu. Kuturunkan ketinggian
pesawat pelan, dan pelan.
JDAAKK!!
Roda pesawat sudah menyentuh tanah. Tapi, trouble!
Pesawat ini melebar 1 km dari lokasi pendaratan semestinya. Kutarik pedal rem
sekuat-kuatnya supaya pesawat berhenti. Semua penumpang berteriak.
GUBRAKK!!!
Pesawat menggelincir keluar lintasan.
Menabrak apa saja yang ditabraknya. Sawah, toko, kantor, rumah, semua jadi
sasaran. Termasuk rumahku sendiri yang berada di dekat bandara. Aku merinding.
Berpegangan erat pada controller sambil menarik pedal rem dalam-dalam.
Ramdan terlempar ke depan, pingsan.
BRAKK!!
Medan, 5 Oktober 1999
Perih. Aku terbangun dari pingsan panjangku
di dalam timbunan rongsokan pesawat. Mencoba mencari celah ‘tuk keluar. Aku
berjalan hingga ke sebuah perkampungan dan melihat siaran berita di televisi.
“MedanTV - Sebuah pesawat milik maskapai Singapura
tujuan Medan tergelincir di bandara Polonia. Korban 12 orang meninggal, 35
orang luka-luka, dan 2 orang belum teridentifikasi. Termasuk di antara korban
meninggal, putra petinggi POLRI. Semua awak pesawat ditemukan tewas, kecuali
seorang pilot masih dalam tahap pencarian polisi. Kejadian naas ini diduga
akibat kelalaian pilot dalam navigasi.”
Mataku terbelalak tak percaya. Statusku
sekarang BURON POLISI. Rumah hancur, harta hancur, istri tewas, lengkaplah
sudah. Kini aku tak punya apa-apa yang bisa diandalkan. Lebih baik aku lekas
pergi dari tempat ini. Menuju daerah lain. Taubat. Ya, taubat. Kembali ke
jalan-Nya. Kuambil arah kiblat sebagai tujuan rantauanku. Entahlah apa yang
terjadi lima tahun ke depan.
Menggelandang.
* cerpen jelek ini ditulis pas lagi jaman-jamannya gue kelas 3 SMP. sebenernya ini cerpen ditulis buat disetorin ke redaksi majalah sekolah, tapi gara-gara saking jeleknya akhirnya ditolak. gue masukin aja di blog aneh ini
0 comment:
Post a Comment